Tepat pukul 01.00 dini hari, hp yang tergeletak di atas meja kecil di sudut kamar berdering. Saya tidak segera menyambarnya. Malas, aku baru saja membaringkan badan untuk istirahat malam, sehabis bergulat dalam diskusi yang membincang fenomena yang ada dipangkep; remaja dan aktifitasnya sehari-hari belakangan ini. Aku membungkus seluruh badan dengan selimut, sambil berharap, hp di sudut kamar itu semoga tidak berdering lagi. Ternyata yang diharapkan tak kunjung kabul. Hp itu kembali berdering. Aku cuekin saja. Akhirnya berhenti sendiri. Selang beberapa menit kemudian berdering lagi. Buyar sudah. Rasa ngantuk menjadi lenyap. Aku bangkit, menyalakan lampu, dan melangkah ke sudut kamar, meraih hp yang masih berdering dan bergetar di atas meja kecil itu.
Ternyata dering pertama adalah pertanda masusknya sms dan dua dering berikutnya adalah pertanda panggilan dari nomor yang tidak kukenali. Memang sudah menjadi kebiasaan bagiku, tidak segera mengangkat hp dari panggilan yang tidak kukenali. Makanya aku tidak terlalu memusingkan dua panngilan yang masuk. Tapi tidak dengan sms. Segera saja aku membuka sms itu dan membaca isinya. Ternyata dari Putri gadis remaja usia 20 tahun, yang beberapa minggu lalu aku kenal di sebuah warung dekat kampusnya. “Kak,…”, saya jeda sejenak membaca sms itu. Aku segera menuju ke depan cermin hendak menggugat kepantasan diri dipanggil kakak oleh remaja belia alias ABG. Kepantasan seperti apa bagiku untuk hal itu? Bukankah usiaku sekarang sudah 29 tahun. Lalu dimana pantasnya aku dipanggil kakak oleh seorang gadis remaja yang masih bau kencur itu, yang seumuran dengan adekq yang satu kampus dengan Putri.
Apakah Putri tidak berpura-pura, hanya untuk sebuah kepentingan. Tapi ah, sudahlah. Masih di depan cermin, aku lanjutkan membaca sms yang masih tersisa. “… saya sungguh sedang dalam situasi terdesak. Apa kakak mau bantu saya? Sejumlah pelajaran di kampus mengharuskan aku punya laptop, tapi orangtua saya hanya pedagang kecil-kecilan, mana mampu membelikan saya laptop. Jika sekiranya kakak, mau membantu meminjami aku uang untuk beli laptop, maka alangkah bersyukurnya aku. Kak, Apapun akan aku pertaruhkan, jika kakak mau membantu”. Rasa-rasanya kalimat yang tertulis dalam sms ini, bukan berasal dari seorang gadis remaja usia KAMPUS. Aku menduga Putri adalah seorang gadis remaja yang pintar. Prihatian. Aku tidak segera mengambil keputusan untuk menyahuti permintaan Putri.
Aku memutar waktu, sejenak kureka ulang dalam benakku awal perkenalanku dengan Putri yang sebenarnya hanya iseng saja. Saat pertama kali berpapasan makan siang di warung dekat Kampusnya. Aku mentraktirnya. Kepadanya aku tanyakan dari kampung mana ia berasal, kelas berapa dan sejumlah pertanyaan iseng lainnya. Seingatku pertanyaan iseng terakhir yang aku lontarkan ke Putri ketika itu adalah apakah ia sudah punya pacar –diam-diam aku menertawakan diri sendiri, dengan kalimat-kalimat picisan kayak gitu– yang dijawabnya dengan kata tidak. Kepolosan yang dikuatkan dengan ekspresi wajah yang menggoda, terutama pancaran tatap mata dan kedipannya seperti diatur sedemikian rupa, seperti penuh berharap, memaksaku untuk percaya bahwa gadis Putri yang parasnya cantik dan tampak natural itu memang tidak punya pacar.
Persis kayak remaja yang baru menjelang masa puber, saat itu aku tukar-tukaran nomor telpon dengan si Putri. Malu rasanya, tapi naluri sebagai laki-laki lebih kuat, mengalahkan tabiat sebagai orang lelaki tua yang mestinya mengayomi anak-anak. Bukankah ia masih sebaya dengan Adek keduaku, yang masih satu Kampus dengannya. Pantasnya ia saya pandang pula sebagai Adek.
.