Label

Sabtu, 26 Januari 2013

" AKU PASTI BISA"



Sangat ingin rasa mempunayi sebuah laptop dan ingin belajar tetang penulisan cerpen, dan ingin belajar lebih banyak lagi, "ujar" Seorang teman yang pernah diajarkan dengan  teman jurnalis  pangkep, tentang penulisan yang benar dan berbahasa yang baik kesemua orang.selama ini aku hanya bisa menulis dengan pensil dengan buku Tulis. tapi. Malam ini aku hanya termenung di depan komputer temanku. Tak seperti biasanya. Biasanya aku datang ke rumah temanku itu hanya untuk menulis. Selalu berjalan biasa, aku selalu menulis. Menulis cerpen, terkadang. Merangkai kata menjadi puisi, ini yang sering. Tak lebih. Tapi, kali ini aku tak bisa. Imajinasiku seakan tumpul. Otakku tak mengalir deras seperti biasanya. Dan aku hanya termenung. Iya! Begitu saja. Tak lebih. Juga tak kurang. "Aku Pasti Bisa"




Sudah beberapa lama aku menulis cerita hidup yang aku alami, tetapi aku ragu untuk menerbitkan cerita tetang hidup ini kemedia. namun ada seorang teman yang pernah mengatakan tetang rasa keraguan,  jangan pernah ragu untuk dikenal dimedia. kalo memang karya tersendiri kita, kenapa mesti ada keraguan didalam diri kita. mestinya kita harus berani untuk menulis apa yang terajdi saat kita ada diluar. "Aku Pasti Bisa"

Aku pun tak mau pusing. Aku mengikuti khayalan buntuku. Kalau memang tak ada ide tak apaapa. Menurutku tak harus marah pada diri yang memang mungkin sedang ingin istirahat. Sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk aku dan keinginanku yang sering kali memforsirnya. Tak mau tahu dengan capeknya. Mengacuhkan waktu istirahatnya tanpa membuatkan jadwal. "Aku Pasti Bisa"

Tapi harus banyak dilanjut lagi menulis, istirahat sudah taratur, makanan juga sudah dicicipi. apa lagi yang kita pikirkan. owh yang aku pikirkan tentang  penulisan cerpen cerita hidupku. selama ini yang aku inginkan hanya jadi penulis yang terbaik di indonesia bukan cuma disulsel saja saya ingin dikenal, tetapi sampai sabang sampai maroke. "Aku Pasti Bisa"

Aku kembali ke tempat semula. Depan laptop temanku. Ah, ternyata otakku masih buntu. “Atau aku nulis kisah orang barusan itu. Orang misterius bin aneh. Mau curhat saja harus ke orang yang tak dikenalnya. Untung ketemu sama orang seperti saya. Orang yang sangat mengedepan kepentingan orang lain. Hmm … sombongku kumat lagi”

Kuikuti usul batin barusan. Jemariku mengetik cepat seperti mentari mencakar kulitkulit permukaan bumi dengan panasnya. Atau seperti tusukantusukan kukukuku dingin pada musim dingin yang menembus lapisan bajuku walau tiga “berakhiran” jaket “berbumbu” bulubulu. Entah bulu apa. Dia tak kelihatan. Juga tak sempat tanya waktu dulu membelinya di sebuah toko pasar Sentral pangkep.

Tulisanku mengalir deras. Baru kali ini aku menulis dari kisah nyata. Bagiku, menulis cerpen kisah nyata itu tak kreatif. Letak kreatifitasnya dimana coba? Hanya menyalin. Tapi, aku pernah membaca sebuah buku panduan tentang kepenulisan. Dalam buku itu dipaparkan penulis penulis terkenal sekaligus sebagian kecil tulisannya. Sekali lagi, dalam buku itu aku temukan penulis terkenal bernama … ah, aku lupa. Dan yang aku ingat, bahwa dia sering menulis dari kisah nyata yang dirubah menjadi fiktif. Biasanya yang dia rubah adalah konflik dan setting.

Ya! Biarlah malam ini aku menulis kisah nyata itu. Akan kuikuti cara penulis terkenal yang kulupakan namanya itu."Aku Pasti Bisa"

Kini aku sibuk menghapus tulisan yang baru kutulis itu. Hanya masih dua lembar. Font 12. Dan spasi 1,5. Sebenarnya ada rasa sayang menelikung. Tapi, biarlah. Bukankah itu hanya salinan. Bukan hasil imajinasi yang     menyerpih di jalanjalan berdebu. Atau pada angin malam. Atau dalam sepi. Juga dalam tertawa keramaian di antara goyonan teman teman.

Aku rubah kisah tamuku yang barusan pulang. Aku menjadikannya fiktif. Terang saja, aku tak benarbenar merubahnya. Hanya menambahkan. Bukankah dia tadi belum menemukan jalan keluarnya? Nah, dalam tulisanku itu, aku ceritakan kalau dia sudah menemukan solusi. Dan dia pun menjadi betah menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi seperti angin yang menyemilir. Bukan lagi air yang terus mengalir mengikuti kelok sungai.

Dia kukisahkan sebagai burung Camar yang terbang tinggi, tapi pasti kembali ke pinggir laut yang membiru. Kembali menikmati hidangan Tuhan yang berserakan di antara pinggiranpinggiran pantai. Camar itu tersenyum. Sesekali menengadah ke hamparan langit luas yang juga membiru seperti hamparan laut. Seakan mengabari langit “Di pantai ini aku mengingatmu. Saat aku bermain denganmu, aku mengenang pantai tempat asalku mendatangimu.”Aku Pasti Bisa".

Si tamu yang sangat senang menatap mataku itu kini menikah. Pernikahan itulah yang telah merubahnya. Seakan mengikat dalam tenang. Karena dia sudah menikmati rumahnya yang berpayung rumah tangga. Dia tak lagi menangis. Malah senyum terukir manis.

Kini, aku sudah selesai menulis cerpenku. Aku termenung di depan Laptop temanku itu. Melihat dan mengoreksi hasil tulisanku itu. Sebenarnya aku salah. Karena menurut temanku yang sudah jago menulis, “setelah kau selesai menulis, simpan dulu. Harus diinkubasi. Jangan langsung diedit.” Katanya yang kuikuti dengan anggukan kepalaku yang seakan patuh.

Biasanya aku memang patuh. Tapi, tidak untuk sekarang. Maafkan aku, teman. Sekarang aku sangat butuh uang. Aku akan segera mengirimkan ke media cetak. Dan itu tak butuh waktu untuk menunggu lagi. Karena aku benar benar butuh uang.

Kulanjutkan editanku. Kubenahi tanda baca yang salah di sanasini. Kadang aku memicingkan mataku. Kadang aku tersenyum menikmati kata-kataku yang kurasa lucu. “Ah, tulisanku. Semoga kau diterima oleh media cetak. Dan kalau itu terjadi, berarti Tuhan telah mengirimmu menjadi penolongku. Penolong dompetku yang lagi sakit kanker, kantong kering kata temanku.” Batinku berbisik. Mengingat Tuhan dengan semangat menggebu saat menerima kurnianya.

Dan malam ini aku bisa menulis walau sebenarnya otakku sedang buntu. Aku pasti  bisa menulis karena tamu misterius itu. Yang jelas ini juga adalah anugerah Tuhan. Salah satu caranya untuk menolongku. Unutk memberi rezeki padaku. “Ah, Tuhanku selalu banyak cara. Ah, Tuhanku selalu hadir pada hambaNya yang mau berusaha. Oh, Tuhan, terima kasih. Semoga aku selalu bersyukur saat menerima rizkimu. Dan sabar dalam cobaanMu."Amin.”.

Tidak ada komentar: