Sangat ingin rasa
mempunayi sebuah laptop dan ingin belajar tetang penulisan cerpen, dan ingin
belajar lebih banyak lagi, "ujar" Seorang teman yang pernah diajarkan
dengan teman jurnalis pangkep, tentang penulisan yang benar dan
berbahasa yang baik kesemua orang.selama ini aku hanya bisa menulis dengan
pensil dengan buku Tulis. tapi. Malam ini aku hanya termenung di depan komputer
temanku. Tak seperti biasanya. Biasanya aku datang ke rumah temanku itu hanya
untuk menulis. Selalu berjalan biasa, aku selalu menulis. Menulis cerpen,
terkadang. Merangkai kata menjadi puisi, ini yang sering. Tak lebih. Tapi, kali
ini aku tak bisa. Imajinasiku seakan tumpul. Otakku tak mengalir deras seperti
biasanya. Dan aku hanya termenung. Iya! Begitu saja. Tak lebih. Juga tak kurang. "Aku Pasti Bisa"
Sudah beberapa lama
aku menulis cerita hidup yang aku alami, tetapi aku ragu untuk menerbitkan
cerita tetang hidup ini kemedia. namun ada seorang teman yang pernah mengatakan
tetang rasa keraguan, jangan pernah ragu
untuk dikenal dimedia. kalo memang karya tersendiri kita, kenapa mesti ada
keraguan didalam diri kita. mestinya kita harus berani untuk menulis apa yang
terajdi saat kita ada diluar. "Aku Pasti
Bisa"
Aku pun tak mau
pusing. Aku mengikuti khayalan buntuku. Kalau memang tak ada ide tak apaapa.
Menurutku tak harus marah pada diri yang memang mungkin sedang ingin istirahat.
Sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Termasuk aku dan keinginanku yang
sering kali memforsirnya. Tak mau tahu dengan capeknya. Mengacuhkan waktu istirahatnya
tanpa membuatkan jadwal. "Aku Pasti Bisa"
Tapi harus banyak
dilanjut lagi menulis, istirahat sudah taratur, makanan juga sudah dicicipi.
apa lagi yang kita pikirkan. owh yang aku pikirkan tentang penulisan cerpen cerita hidupku. selama ini yang
aku inginkan hanya jadi penulis yang terbaik di indonesia bukan cuma disulsel
saja saya ingin dikenal, tetapi sampai sabang sampai maroke. "Aku Pasti Bisa"
Aku kembali ke tempat
semula. Depan laptop temanku. Ah, ternyata otakku masih buntu. “Atau aku
nulis kisah orang barusan itu. Orang misterius bin aneh. Mau curhat saja harus
ke orang yang tak dikenalnya. Untung ketemu sama orang seperti saya. Orang yang
sangat mengedepan kepentingan orang lain. Hmm … sombongku kumat lagi”
Kuikuti usul batin
barusan. Jemariku mengetik cepat seperti mentari mencakar kulitkulit permukaan
bumi dengan panasnya. Atau seperti tusukantusukan kukukuku dingin pada musim
dingin yang menembus lapisan bajuku walau tiga “berakhiran” jaket “berbumbu”
bulubulu. Entah bulu apa. Dia tak kelihatan. Juga tak sempat tanya waktu dulu
membelinya di sebuah toko pasar Sentral pangkep.
Tulisanku mengalir
deras. Baru kali ini aku menulis dari kisah nyata. Bagiku, menulis cerpen kisah
nyata itu tak kreatif. Letak kreatifitasnya dimana coba? Hanya menyalin. Tapi,
aku pernah membaca sebuah buku panduan tentang kepenulisan. Dalam buku itu
dipaparkan penulis penulis terkenal sekaligus sebagian kecil tulisannya. Sekali
lagi, dalam buku itu aku temukan penulis terkenal bernama … ah, aku lupa. Dan
yang aku ingat, bahwa dia sering menulis dari kisah nyata yang dirubah menjadi
fiktif. Biasanya yang dia rubah adalah konflik dan setting.
Ya! Biarlah malam ini
aku menulis kisah nyata itu. Akan kuikuti cara penulis terkenal yang kulupakan
namanya itu."Aku Pasti Bisa"
Kini aku sibuk menghapus tulisan yang
baru kutulis itu. Hanya masih dua lembar. Font 12. Dan spasi 1,5. Sebenarnya
ada rasa sayang menelikung. Tapi, biarlah. Bukankah itu hanya salinan. Bukan
hasil imajinasi yang menyerpih di
jalanjalan berdebu. Atau pada angin malam. Atau dalam sepi. Juga dalam tertawa
keramaian di antara goyonan teman teman.
Aku rubah kisah tamuku yang barusan
pulang. Aku menjadikannya fiktif. Terang saja, aku tak benarbenar merubahnya.
Hanya menambahkan. Bukankah dia tadi belum menemukan jalan keluarnya? Nah,
dalam tulisanku itu, aku ceritakan kalau dia sudah menemukan solusi. Dan dia
pun menjadi betah menikmati rumahnya sendiri. Tidak lagi seperti angin yang
menyemilir. Bukan lagi air yang terus mengalir mengikuti kelok sungai.
Dia kukisahkan sebagai burung Camar
yang terbang tinggi, tapi pasti kembali ke pinggir laut yang membiru. Kembali
menikmati hidangan Tuhan yang berserakan di antara pinggiranpinggiran pantai.
Camar itu tersenyum. Sesekali menengadah ke hamparan langit luas yang juga
membiru seperti hamparan laut. Seakan mengabari langit “Di pantai ini aku
mengingatmu. Saat aku bermain denganmu, aku mengenang pantai tempat asalku
mendatangimu.”Aku Pasti Bisa".
Si tamu yang sangat senang menatap
mataku itu kini menikah. Pernikahan itulah yang telah merubahnya. Seakan
mengikat dalam tenang. Karena dia sudah menikmati rumahnya yang berpayung rumah
tangga. Dia tak lagi menangis. Malah senyum terukir manis.
Kini, aku sudah selesai menulis
cerpenku. Aku termenung di depan Laptop temanku itu. Melihat dan mengoreksi
hasil tulisanku itu. Sebenarnya aku salah. Karena menurut temanku yang sudah
jago menulis, “setelah kau selesai menulis, simpan dulu. Harus diinkubasi.
Jangan langsung diedit.” Katanya yang kuikuti dengan anggukan kepalaku yang
seakan patuh.
Biasanya aku memang patuh. Tapi, tidak
untuk sekarang. Maafkan aku, teman. Sekarang aku sangat butuh uang. Aku akan
segera mengirimkan ke media cetak. Dan itu tak butuh waktu untuk menunggu lagi.
Karena aku benar benar butuh uang.
Kulanjutkan editanku. Kubenahi tanda
baca yang salah di sanasini. Kadang aku memicingkan mataku. Kadang aku
tersenyum menikmati kata-kataku yang kurasa lucu. “Ah, tulisanku. Semoga kau
diterima oleh media cetak. Dan kalau itu terjadi, berarti Tuhan telah mengirimmu
menjadi penolongku. Penolong dompetku yang lagi sakit kanker, kantong kering
kata temanku.” Batinku berbisik. Mengingat Tuhan dengan semangat menggebu saat
menerima kurnianya.
Dan malam ini aku bisa menulis walau
sebenarnya otakku sedang buntu. Aku pasti bisa menulis karena tamu misterius itu.
Yang jelas ini juga adalah anugerah Tuhan. Salah satu caranya untuk menolongku.
Unutk memberi rezeki padaku. “Ah, Tuhanku selalu banyak cara. Ah, Tuhanku
selalu hadir pada hambaNya yang mau berusaha. Oh, Tuhan, terima kasih. Semoga
aku selalu bersyukur saat menerima rizkimu. Dan sabar dalam cobaanMu."Amin.”.